Aku mabuk. Aku terhuyung sampai jatuh ke dasar laut. Bukannya aku tidak mampu bertahan, aku sengaja, aku izinkan tubuhku melunglai, aku biarkan pijakanku merapuh. Karena, airnya berwarna merah muda, warna kasih sayang, warna keromantisan.
Kilau cahaya yang kau pancarkan semakin tegas, semakin lugas. Komposisi warna yang menyejukan seketika menyergap, merampas ketangguhanku. Di saat pagi, rona wajahmu kemerahan, mendekati warna fajar yang datang menghadang. Di kala malam, wajahmu bercahaya, bagai rembulan yang mampu memantulkan sinar mentari dengan sempurna. Sungguh luar biasa, wajar rasanya apabila aku tenggelam, terperosok begitu dalam.
Setiap helaan nafasmu terasa begitu bermakna. Mungkin tidak bagi mereka, tapi begitulah yang aku rasakan. Setiap kau sibakan rambutmu, kau lepaskan pesona. Saat berada di dekatmu, aku ingin beralih menjadi manusia yang lemah. Aku ingin segera kau rangkul, kau dekap dengan erat. Aku ingin menyerah, aku ingin kau jajah. Aku ingin bernaung di dalam pelukanmu. Karena bagiku, kaulah pelindungku, hanya kaulah yang mampu mengusir lara, menepis duka yang seringkali bertamu.
Mungkin terasa berlebihan, tapi memang begitulah adanya. Aku tidak mampu menahan getar, membendung gumpalan rasa yang meletup. Karena, kaulah sajak yang kutulis, kaulah nada mayor dan minor yang bergema, mengiringi setiap langkahku. Kaulah rindu yang mengganggu laju pernafasanku, kaulah sendu yang mengurung imajinasiku. Mungkin, apabila boleh aku rangkum dalam kalimat sederhana. Kaulah cinta, kaulah makna detak, kaulah tafsir degup.
– Segara