Sama saja seperti kemarin, hari ini tidak ada bedanya. Aku bersama sekumpulan bocah menelusuri rel kereta, memulai perjalanan dari rumah kami menuju tempat bekerja. Sama saja, sama-sama lelah, tidak ada bedanya dengan kemarin. Apabila cuaca hujan, aku akan basah kuyub dan apabila cuaca cerah, kulitku akan menjadi perih tersengat. Kondisi seperti itu sudah biasa aku alami. Ini adalah rutinitasku sehari-hari. Memang, kadang aku sebal dengan kondisi ini, tapi mau bagaimana lagi. Paling wajahku saja yang dapat kuubah menjadi cemberut. Keluhanku tidak akan mengubah apapun.
Di tempat kerjaku sekarang ini juga tidak ada yang berubah, semuanya sama seperti kemarin. Terik matahari akan menggerogoti permukaan kulitku yang sudah hitam pekat, serangan polusi kendaraan bermotor yang melintas membuatku sulit bernafas. Aku tidak pintar, namun aku merasa bahwa oksigen yang seharusnya aku hirup kini sudah berubah menjadi gas beracun. Mungkin saja paru-paruku yang selalu dijejalkan dengan udara seperti ini telah berevolusi sehingga dapat memaksimalkan pasokan oksigen yang minim. Tak disangka, berguna juga pelajaran dari kakak-kakak yang sempat mengajariku di rumah pintar. Meski ilmu biologi yang aku pelajari tidak dapat membersihkan udara di tempat ini, paling tidak aku tahu sumber penyakit batuk yang seringkali muncul usai aku bekerja.
Bukannya tidak mau, aku memang tidak memiliki keahlian apa-apa. Modalku hanya wajah memelas dan dengan itu, aku bekerja sekeras mungkin untuk dapat mengumpulkan rupiah sedikit demi sedikit. Dari pengalamanku, anak kecil sepertiku biasanya dapat dengan mudah meluluhkan hati para pengendara mobil atau motor. Mereka akan lebih rela menyisihkan uangnya untuk kami daripada untuk mereka yang telah dewasa. Memang, bila dipikirkan lebih matang, perlakuan orang-orang terhadapku sebenarnya tidaklah adil. Mereka yang telah bekerja keras dengan menjajn barang dagangannya seringkali kalah bersaing denganku yang hanya bermodal tatapan memelas. Kasihan memang, tapi aku tidak layak mengkasihani orang lain. Aku juga sangat membutuhkan uang tersebut.
Pekerjaan ini menurutku sangat unik. Pekerjaan yang diperkenalkan oleh kedua kakakku memiliki gaji yang variatif. Meski demikian, yang paling sering aku dapatkan adalah uang receh. 100,200 rupiah, dan apabila beruntung  aku dapat menghasilkan 500 sampai 5000 rupiah. Namun hasil berupa rupiah bukanlah yang aku inginkan. Karena, berapapun yang aku dapatkan, uang tersebut juga akan dipotong oleh abang berbeadan besar yang selalu mengamati kami dari kejauhan. Sebenarnya, aku lebih mengharapkan makanan. Lidahku bosan mengecap rasa nasi aking dan ikan asin. Aku ingin juga mencicipi makanan orang berduit, sepertinya lezat. Namun, itu hanya anganku saja. Kenyataannya, belum ada yang melakukan hal tersebut. Sepertinya mereka lebih rela menyisihkan receh.
Apabila sepi, aku seringkali duduk dan melamun di trotoar. Lamunanku selalu sama. Nanti setelah aku besar, kira-kira apa pekerjaan yang akan kugeluti. Apabila menerawang ke sudut jalan, hanya sedikit pilihan yang aku miliki. Apakah pedagang opak, pedagang mijon, pedagang lem super kuat, atau pedagang bakpao? Dari pilihan tersebut, yang paling menarik adalah pedagang bakpao. Ya, sepertinya aku bisa membayangkan diriku berjualan bakpao. Akan aku buat gerobak yang besar, akan aku hias agar berbeda dengan gerobak bakpao lainnya. Akan aku buat rasa bakpao yang istimewa. Namun, apakah mungkin? Sekarang saja keahlianku mentok pada pembentukan wajah ‘memelas’. Dari mana akan kudapatkan keahlian membuat bakpao. Memasak nasi saja belum bisa, apalagi membuat bakpao yang jauh lebih rumit. Sudahlah, mungkin harus aku urungkan niatku untuk menjadi pedagang bakpao. Memikirkan hal tersebut berhasil membuat mulutku berair. Lagipula, untuk apa aku memikirkan masa depan. Lebih baik aku memikirkan apa yang akan terjadi beberapa jam kedepan dan bagaimana caranya untuk menghentikan teriakan perutku sejak tadi pagi.
Pekerjaanku hari ini hampir usai. Abang berbadan besar juga sudah memberikan aba-aba untuk aku dan mereka yang ada di sini untuk segera menyingkir. Matahari mulai padam, cahayanya mulai hilang ditelan malam. Aku lekas berjalan pulang meski kaki ini tengah bergetar akibat kelelahan. Semangat untuk segera sampai ke rumah membuatku tetap bertahan. Meski bobrok, paling tidak di rumah aku dapat beristirahat dengan tenang, tidak seperti di sini, berbagai hal menciptakan suasana yang mencekam.
Sebelum beristirahat aku selalu berdoa. Doaku sederhana, semoga esok hari akan berbeda. Semoga saja besok aku akan bertemu seseorang yang dapat membuat masa depanku menjadi lebih baik. Aku sebenarnya ingin berkembang, namun biaya sekolah yang katanya gratis tidak pernah aku rasakan. Aku tidak ingin terus menerus bekerja sebagai pengemis. Aku punya mimpi besar, aku ingin menjadi presiden. Apabila mimpi itu terwujud, aku tidak akan membiarkan orang sepertiku ditelantarkan seperti ini. Namun kadangkala aku takut dengan mimpiku sendiri. Aku berada sangat jauh dari mimpi tersebut. Tetapi bairlah, dulu ibuku sempat berkata, ciptakanlah mimpi setinggi langit, karena apapun mimpimu itu, Tuhan pasti mendengar. Semoga saja potongan kalimat peninggalan ibuku itu benar, karena sebenarnya aku tidak ingin menjadi pengemis jalanan, akan tetapi apa daya hanya ini yang dapat aku lakukan sekarang.
– Segara